Minggu, 17 Januari 2016

Seduhan Rindu Secangkir Kopi

Kopi Paste, 15 September 2013, 19:14.

“Maaf menunggumu lama, Lun.” sapa Mas Arya.
“Okay, aku belum lama kok Mas. Kamu mau pesan apa?” tanyaku.
“Kopi hitam seperti biasa.” jawab pria berkaos biru didepanku.
“Kopi hitam 2, Mas.” kataku pada baristanya.

Kami duduk di balkon samping. Sengaja memilih spot ini. Alasannya tentu jauh dari keramaian dan jelas meminimalisir mata-mata yang mungkin saja tidak sengaja melihat kami. Ya. Kami pasangan gelap, kami pasangan hitam, sehitam kopi favorit yang kami pesan. Entah apa yang membuat kami terlibat asmara tak biasa ini. Mas Arya, hanya seorang staff perusahaan pembiayaan, tampang biasa, khas pria Indonesia, sawo matang.


“Pacarmu kapan pulang?” Tanya Mas Arya, asap rokok mengepul dari mulutnya.
“Tiap weekend selalu pulang, Mas. Pacarmu?” jawabku.
“Dua minggu lagi.” jawabnya sambil menghela nafas.

Kami terpaku dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirannya. Begitupula denganku, sibuk dengan pikiranku. Pikiran yang berjalan-jalan. Sekilas bayangan Reno muncul, kekasih hatiku, pemilik hatiku. Aku sadar bahwa Reno lah yang sering ku rindukan, namun malam ini didepanku ada pria yang diam-diam juga kurindukan. Sesekali aroma kopi dan rokok menguap, melewati rongga hidung, pahit namun manis.

Ku kenal Mas Arya karena perusahaan tempat kami masing-masing bekerja menjalin kerja sama. Seringnya bertemu dalam meeting, terkadang makan siang bersama, sekedar membicarakan slide presentasi, membawa kita ke komunikasi digital. Terlibat chatting, bertukar sapa, berkenalan, menggoda manja ala anak SMA, menyuguhkan perhatian dan menghadirkan rindu ketika satu malam saja kulewati tanpa sapaannya.

“Kamu sayang padaku, Lun?” tanyanya memecah keheningan.
Aku tertawa kecil.
“Jawab jujur, Lun, please.” ibanya.
“Sayang bagiku adalah proses, Mas.” kataku, sesekali ku aduk kopi hitam didepanku.
“Tapi rindu itu ada?” tanyanya mengejar. Ada, begitu jawabanku.
“Lalu rindu itu tanda apa, Lun?” pertanyaan jebakan.

Kulemparkan senyum nakalku dan kami tertawa bersama. Mengapa aku harus merindukanmu Mas Arya? Apa yang terjadi padaku? Mas Arya mendaratkan ciuman di punggung tanganku. Dia terlanjur menyayangiku, ungkapnya. Bisakah ku percaya? Tidak. Bagaimana pun porsi sayang itu pastilah lebih besar untuk kekasih hatinya yang saat ini menempuh kuliah semester akhir itu. Dia hadir lebih dulu. Dan aku? Aku hanya nomor dua. Tak jarang ketika sedang asyik bercanda, tiba-tiba teleponnya berdering. “Ssstt.. Nyonya” ujarnya sambil menutup mulut dengan jari telunjuk. Huh, aku kesal dibuatnya. Tunggu dulu, aku kesal? Cemburu kah? Telepon berdering dari Nyonya, pasang Display Picture pun bersama Nyonya.

Seharusnya aku tak boleh protes. Bukankah aku punya Reno. Pria yang mencintaiku dengan tulus. Pria yang jadi tempat sampah segala curahan ku. Bahu bersandar untuk segala lelahku. Tapi kini? Aku sedang tergoda oleh seorang pria yang baru ku kenal beberapa bulan yang lalu.
“Ini kesalahan, Mas. Tak seharusnya pertemuan ini terjadi. Dan semua kenangan yang pernah kita rajut bersama, tak seharusnya terjadi.” sesalku.
“Iya aku tahu. Tapi semua sudah terlambat.” jawabnya.
“Kenapa ini bisa terjadi Mas? Kenapa aku harus menjadi nomor dua?” keluhku.
“Aku juga nomor dua.”
Aku terdiam. Iya, kami adalah orang kedua.
“Aku ingin menyudahi ini semua. Aku ingin ini menjadi pertemuan terakhir kita. Kita ini apa?” aku mulai protes.
“Kekasih gelap, Lun.” jawabnya tertawa, seolah-olah ini guyonan.
Mas Arya, kenapa kamu tak mengerti bahwa perempuan di depan mu ini hatinya sedang berontak? Aku sadar Mas, kekasih hatimu hadir lebi dulu daripada aku. Aku sadar bahwa aku tidak akan pernah jadi bagian dari perjuangan hidupmu.

Kopi didepanku menguap. Buru-buru aku menghabiskannya, khawatir rasa pahit itu makin terasa. Seperti apa yang ku rasa. Sepenggal kisah yang telah ku ukir bersama Mas Arya. Semakin lama rasanya semakin pahit, tak semanis diawal seduhannya. Hatiku berontak, bukan karena aku ingin menjadi bagian dari perjuangan Mas Arya, lebih kepada kenapa dia harus hadir dihidupku? Kenapa dia harus menghadirkan rindu?
“Kita sadar ini kesalahan Lun, lantas siapa yang harus disalahkan? Punya kuasa apa aku sama hatiku ini Lun? Seandainya kita masih sama-sama sendiri.” keluhnya.
“Tentu ceritanya tak akan pernah begini, Mas.” jawabku.
“Aku bahagia pernah memilikimu Lun, meski hanya sekejap. Aku bahagia pernah memelukmu dengan segenap hatiku.”
Aku hanya terdiam. Berusaha memahami alur pikiran Mas Arya.
“Aku menghormati keputusan mu Luna. Aku memang bukan siapa-siapa dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa bagimu. Cukuplah kamu tahu, bahwa aku akan selalu merindukanmu, merindukan kisah manis kita. Katakan sesuatu, Lun. Demi perpisahan kita dan demi perkenalan kita yang entah darimana mulainya.”
“Kamu telah menempati sepenggal sudut hatiku, Mas. Jaga baik-baik sudut hatiku.”
“Luna, suatu hari nanti entah siapapun diantara kita yang diserang rindu terlebih dahulu. Percayalah kita akan dipertemukan kembali. Kamu pun telah memiliki sepenggal hatiku.” Mas Arya mengakhiri pertemuan malam itu dengan kecupan hangat di keningku.

Kopiku kini benar-benar pahit rasanya. Sepahit kisahku dengan Mas Arya. Karena masing-masing kita hadir sebagai orang ketiga. Semoga kamu berbahagia dengan perempuan itu, Mas. Karena aku pun ingin berbahagia dengan Reno.

Aku masih terdiam di coffeeshop ini, perlahan gitar acoustic memainkan lagu Aku Memilih Setia yang pernah kondang dibawakan oleh salah satu juara ajang pencarian bakat televisi swasta. Sial. Seolah-olah coffeshop ini mengerti akan apa yang terjadi antara aku dan Mas Arya.

 ***

Meja Kerja, 1 Oktober 2013, 09.52

Masih setia dengan tumpukan kertas-kertas laporan dari team marketing dan kolom-kolom Excel di layar monitorku. Mas Arya benar-benar menghormati keputusanku. Beberapa hari ini dia tak menampakkan hidungnya di kantor. Beberapa kali pula ku lihat kontak BBM di layar handphone, ingin sekali ku tekan PING!!! untuk sekedar tahu responnya. Ah tidak. Aku benar-benar ingin melupakannya dan melanjutkan kembali kehidupan ku sebelumnya, kehidupan normalku tanpa sipu malu karena gombalannya, kehidupanku bersama Reno.

Hah Mas Arya kenapa kamu harus melayang-layang lagi dipikiranku? Pergilah bersama kisah kasih kita. Inikah rindu yang pernah kamu katakan Mas Arya?
Pria sawo matang itu melintas didepan ruangan kerjaku, melemparkan senyumnya dan sepasang bola mata itu menatapku teduh. Dia menghampiriku.

“Hai Luna, Direksi memindahtugaskan aku. Besok aku akan berangkat ke Sulawesi. Terima kasih untuk semuanya, semua yang tak pernah terjelaskan. Maaf jika aku pernah menyakitimu.” pamitnya.
“Terima kasih kembali, Mas Arya. Jaga dirimu baik-baik.” hanya itu yang mampu ku katakan padanya, meski pelan-pelan hatiku menangis. Ku lihat punggungnya berjalan meninggalkan meja kerjaku. Kuputuskan tak lagi menyeduh kopi hitam, karena kini rasanya benar-benar pahit.

*** 

Beranda Rumah, 10 September 2014, 16.15.

Coklat instanku habis, dan sialnya hanya tersisa kopi hitam. Pasrah aku menyeduhnya daripada lemburanku tak selesai. Kopi hitam dengan aroma yang sama seperti 1 tahun yang lalu. Beberapa kali ku refresh email ku di layar laptop. Email baru masih dari beberapa team marketing yang mengirimkan laporannya, hingga mata ku dikejutkan oleh 1 alamat email, Arya Sugiharto.
Manis apakah kata itu yang pantas untuk cinta kita? Bukan jamannya harus kutulis sajak tentangmu. Cukup dengan kalimat cintaku tak harus ku memilikimu, cukup tersimpan dalam hatiku tak kan kulupa.
Luna, Kopi Paste, 15 September jam 7 malam? Please.
Love, Arya Sugiharto.

*Kopi Paste : nama sebuah cafe
This entry was posted in

1 komentar:

  1. Cerpennya bagus. Saya bacanya jadi ikut merasa pahit, sepahit kopi yang disesap Luna. Cuma endingnya menggantung sekali padahal pengen tahu bagaimana hubungan keduanya setelah memilih setia pada pasangannya masing2

    BalasHapus